Mengingat Kembali Saat Iran Kalahkan Setan Besar Amerika Serikat – 21 Juni 1998, Iran berhasil mengalahkan Amerika Serikat di Stade de Gerland Lyon pada helatan piala dunia 1998. Kemenangan di bawah sorot mata 43.300 penonton stadion, yang mayoritas mendukung Iran tersebut, merupakan kemenangan monumental, bagi Iran sendiri. Bagaimanapun Amerika Serikat merupakan rival politik mereka. Memenangkan pertarungan melawan Amerika Serikat, kapanpun, di manapun, dalam situasi apapun, adalah kemenangan besar.
Iran memang tidak melaju ke babak berikutnya di malam itu. Tapi memang dari awal mereka hanya mengincar satu tujuan saat ke Perancis 98, yakni jangan sampai kalah dari Amerika Serikat. Mengalahkannya malah bonus besar. Karena piala dunia itu diadakan, pada saat Asia tengah krisis ekonomi karena pelarian modal yang disponsori spekulan pro Israel, George Soros. Iran salah satu negara yang mendapatkan bencana ekonomi dari krisis di banyak negara Asia, karena negara tetangga Asia seperti Malaysia, Indonesia, India, China, Jepang, Korea Selatan, itulah penopang ekonomi mereka.
Dengan mengalahkan Amerika Serikat, merupakan pernyataan politik bahwa negara mereka tidak akan kalah di banyak tempat, malah sebaliknya menyimpan energi besar untuk bisa bertarung melawan “si setan besar” Amerika. Tapi dibalik gempita politik itu, di mata fans sepak bola adalah tim yang matang mengalahkan tim yang masih mentah. Secara realistis, Iran saat itu di isi oleh beberapa mega bintang yang belum bisa lagi dimunculkan oleh generasi setelahnya. Beberapa di antara bintang itu adalah nama-nama yang sangat ditakuti di Asia, dan juga berjaya di Eropa.
Kualitas permainan mereka bisa dikatakan setara dengan bintang-bintang dunia saat itu, namun pemain Iran walau punya bakat bagus tidak bisa leluasa bermain di Eropa, karena sejarah permusuhan yang panjang dari masyarakat Iran sendiri kepada hal yang berbau barat. Padahal jika sepak bola dipisahkan dari dunia politik, Iran akan cepat berkembang menjadi negara penghasil pesepakbola tangguh, serta meningkatkan level mereka di tingkat internasional.
Sebut saja sang raja Ali Daei, pencetak gol timnas terbanyak yang belum dipecahkan hingga saat ini, dengan 109 gol, terpaut jauh dari runner up Cristiano Ronaldo dengan selisih 10 gol. Jika CR7 beruntung, dalam artian selama helatan timnas dia bisa tampil dan tidak cedera, barangkali dia bisa lewati rekor Ali Daei, tapi rekor itu masih utuh hingga saat ini. Ali Daei jadi momok menakutkan di Piala Dunia 98. Pengalaman di Eropa bersama Arminia Bildfield klub Bundesliga dari Jerman Selatan dibawanya ke Perancis. Kelebihannya adalah ketangkasan di depan gawang sebagai pressing forward. Selalu bergerak tidak kenal lelah, berani menerobos posisi kosong dengan cepat, serta menekan lawan yang menguasai bola.
Ada pula Karim Bagheri, pemain pembeda. Berada di posisi gelandang bertahan, namun memiliki naluri gol tinggi, 50 gol dia lesakan untuk tim nasional. Bahkan ada berkata bahwa Bagheri adalah pemain klub Iran, bukan klub lainnya. Apa pasal, karena karir profesional di klub bisa dibilang tidak begitu cermelang. Untuk level klub dia bermain hanya 178 games. Sepertiganya jumlah normal karir pro pemain di klub yang bisa bermain hingga 87 games untuk timnas. Umumnya pemain seperti Bagheri bisa mainkan 400-500 penampilan dari 19 tahun karir, tapi rupanya dunia klub bukan untuk Bagheri.
Keduanya adalah pahlawan Iran di malam melawan Amerika Serikat. Keduanya bermain profesional, tidak emosional, tidak seperti anggapan semua orang pada malam itu.